Senin, 19 September 2011

TINDAK PIDANA BAGI PENERIMA TALANGAN DANA KORUPSI

Diunggah oleh : Denok

Untuk banyak kasus korupsi yang melanda negeri ini, santer terdengar bahwa pelaku utama tidak bekerja sendiri melainkan besifat korporasi ( menyangkut sekelompok orang-orang eksekutif, sebuah badan hukum/orang2 dalam perusahaan, disebut juga dengan white Crime Collar red : kejahatan kerah putih) kolega kerabat atau keluarga sendiri untuk membantu jalannya aksi mulus para pelaku utama.

Dalam Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang No. 8 Tahun 2010

Yang dimaksud dengan Personil adalah Setiap Orang adalah orang perseorangan atau Korporasi, seedangkan yang dimaksud dengan Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Aksi Malinda dee bersama saudara ipar, suami dan karyawan City Bank sendiri dapat dikatakan sebagai Permufakatan Jahat. Pemufakatan Jahat itu sendiri adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan tindak pidana Pencucian Uang.


Dalam kasus malinda dee, Relation Manager City Bank cab. gedung Landmark, pelaku diketahui terdakwa telah menjalin kerjasama dengan adik iparnya yang bernama Ismail bin Janib. Dalam pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ismail dikenakan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 6 UU Tindak Pidana Pencucian Uang dan atau Pasal 5 dan atau Pasal 10 UU Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Adapun Pasal-pasal berikut dapat di jabarkan :

Pasal 3

Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

unsur-unsur tindak pidana : menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga dengan tujuan menyamarkan asal usul Harta Kekayaan

Pasal 5

Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran,hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana denga n pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dendapaling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Unsur Tindak Pidana : menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, sumbangan, penitipan, penukaran atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.


Pasal 6

(1) Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4,
dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau
Personil Pengendali Korporasi.
(2) Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.

Pasal 10

Setiap orang yang berada di wilayah atau diluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, pemufakatan Jahat untuk melakukan Tindak Pidana Pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.

Pasal-pasal tersebut di atas berisi unsur-unsur Tindak Pidana Pencucian Uang yang melibatkan pelaku utama, personil dan Korporasi dimana tindak pidana tersebut turut serta melakukan percobaan ( sebelum niat pelaku terlaksana definisi lengkap jo Pasal 53 KUHP), pembantuan (mensupport/menyokong pelaku utama untuk secara bersama-sama melakukan tindak pidana dasar hukum jo Pasal 56 KUHP), pemufakatan jahat (secara bersama-sama melakukan tindak pidana)

Tindakan Melinda Dee sendiri dapat dikenai sanksi Pidana dalam UU No.8 Tahun 2010 jo Pasal 65 KUHP tentang penggabungan beberapa Tindak Pidana Kejahatan.

Urutan pemidanaan :

Terberat Melinda Dee dengan Jeratan Tindak Pidana Perbankan Pasal 49 ayat 1 UU N0. 10 tahun 1998 jo UU No.7 Tahun 1992 dan UU No. 8 Tahun 2010 jo UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Berikutnya, suami Melinda dan Adik Ipar yang dikenakan Pasal 3, Pasal 5 UU No.8 Tahun 2010 dapat dikenakan sanksi pidana penjara 15 tahun lebih ringan dari Melinda Dee




KEPMEN TENTANG PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP.100/MEN/VI/2004
TENTANG
KETENTUAN PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA


Menimbang :
a.bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 59 ayat (8) Undang-undang Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan, perlu diatur mengenai perjanjian kerja waktu tertentu;
b.bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Mengingat :

1.Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 4 ).
2.Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839);
3.Undang-undang Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
4.Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);
5.Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong.

Memperhatikan :
1.Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 6 April 2004;
2.Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 19 Mei 2004;

MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU.
BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.
2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu yang selanjutnya disebut PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap
3. Pengusaha adalah : a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;. b.Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
4. Perusahaan adalah : a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
5. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Pasal 2
(1) Syarat kerja yang diperjanjikan dalam PKWT, tidak boleh lebih rendah daripada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Menteri dapat menetapkan ketentuan PKWT khusus untuk sektor usaha dan atau pekerjaan tertentu.

BAB II
PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG SEKALI SELESAI ATAU SEMENTARA SIFATNYA YANG PENYELESAIANNYA PALING LAMA 3 (TIGA) TAHUN

Pasal 3
(1) PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.
(2) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun.
(3) Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saaat selesainya pekerjaan.
(4) Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
(5) Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaharuan PKWT. (6) Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.
(7) Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha.
(8) Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan dalam ayat (5) dan ayat (6) yang dituangkan dalam perjanjian.

BAB III
PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG BERSIFAT MUSIMAN
Pasal 4
(1) Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca.
(2) PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu.
Pasal 5
(1) Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan musiman.
(2) PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.
Pasal 6
Pengusaha yang mempekerjaan pekerja/buruh berdasarkan PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus membuat daftar nama pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.

Pasal 7
PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 tidak dapat dilakukan pembaharuan.

BAB IV
PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PRODUK BARU
Pasal 8
(1) PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun.
(3) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan pembaharuan.
Pasal 9
PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya boleh diberlakukan bagi pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan.
BAB V PERJANJIAN KERJA HARIAN ATAU LEPAS
Pasal 10
(1) Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas.
(2) Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu ) hari dalam 1 (satu)bulan.
(3) Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT.
Pasal 11
Perjanjian kerja harian lepas yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan dari ketentuan jangka waktu PKWT pada umumnya.
Pasal 12
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara tertulis dengan para pekerja/buruh.
(2) Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuat berupa daftar pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sekurang-kurangnya memuat :
a. nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja.
b. nama/alamat pekerja/buruh.
c. jenis pekerjaan yang dilakukan.
d. besarnya upah dan/atau imbalan lainnya.
(3) Daftar pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak mempekerjakan pekerja/buruh.

BAB VI
PENCATATAN PKWT
Pasal 13
PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penandatanganan.
Pasal 14
Untuk perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 maka yang dicatatkan adalah daftar pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).
BAB VII PERUBAHAN PKWT MENJADI PKWTT
Pasal 15
(1) PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
(2) Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), atau Pasal 5 ayat (2), maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
(3) Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk barumenyimpangdariketentuanPasal8ayat(2)danayat(3)makaPKWTberubah
menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan.
(4) Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut.
(5) Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), maka hak-hak pekerja/buruh dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bagi PKWTT.

BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
Kesepakatan kerja waktu tertentu yang dibuat berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-06/MEN/1985 tentang Perlindungan Pekerja Harian Lepas, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-02/MEN/1993 tentang Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-05/MEN/1995 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pada Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu.

BAB IX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-06/MEN/1985 tentang Perlindungan Pekerja Harian Lepas, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-02/MEN/1993 tentang Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-05/MEN/1995 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pada Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 18
Keputusan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di jakarta pada tanggal 21 Juni 2004
MENTERI TENAGAKERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
JACOB NUWA WEA

KETENAGAKERJAAN KEP. 102/MEN/VI/2004 – TENTANG WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA LEMBUR

KEPUTUSAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR KEP. 102/MEN/VI/2004

TENTANG

WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA LEMBUR

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 78 ayat (4) Undang-undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan perlu diatur mengenai waktu kerja

lembur dan upah kerja lembur;

b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya

Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari

Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Repupblik

Indonesia Tahun 1951 Nomor 4);

2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839);

3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan

Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3952);

5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001 tentang

Pembentukan Kabinet Gotong Royong;

Memperhatikan :

1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional

tanggal 23 Maret 2004.

2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal

23 Maret 2004;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK

INDONESIA TENTANG WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA

LEMBUR.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40

(empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu

atau 8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima)

harikerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan

atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah.

2. Pengusaha adalah :

a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu

perusahaan milik sendiri;

b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri

menjalankan perusahaan bukan miliknya.

c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia

mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang

berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

3. Perusahaan adalah :

a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,

milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara

yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam

bentuk lain;

b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan

mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk

lain.

4. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun

untuk masyarakat.

5. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan

dalam bentuk lain.

6. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang

sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang

ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau

peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan

keluarganya atas suatu pekerja dan/ atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

7. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 2

(1) Pengaturan waktu kerja lembur berlaku untuk semua perusahaan, kecuali bagi

perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaan tertentu.

(2) Perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) diatur tersendiri dengan Keputusan Menteri.

Pasal 3

(1) Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu)

hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

(2) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk

kerja lembur yang dilakukan pada waktu istirahat mingguan atau hari libur resmi.

Pasal 4

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja, wajib membayar

upah lembur.

(2) Bagi pekerja/buruh yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu, tidak berhak atas

upah kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan ketentuan mendapat

upah yang lebih tinggi.

(3) Yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

adalah mereka yang memiliki tanggung jawab sebagai pemikir, perencana, pelaksana

dan pengendali jalannya perusahaan yang waktu kerjanya tidak dapat dibatasi menurut

waktu kerja yang ditetapkan perusahaan sesuai denga peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Pasal 5

Perhitungan upah kerja lembur berlaku bagi semua perusahaan, kecuali bagi perusahaan

pada sektor usaha tertentu atau pekerjaaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

Pasal 6

(1) Untuk melakukan kerja lembur harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan

persetujuan tertulis dari pekerja/buruh yang bersangkutan.

(2) Perintah tertulis dan persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat

dibuat dalam bentuk daftar pekerja/buruh yang bersedia bekerja lembur yang

ditandatangani oleh pekerja/buruh yang bersangkutan dan pengusaha.

(3) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus membuat daftar pelaksanaan

kerja lembur yang memuat nama pekerja/buruh yang bekerja lembur dan lamanya

waktu kerja lembur.

Pasal 7

(1) Perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh selama waktu kerja lembur

berkewajiban :

a. membayar upah kerja lembur;

b. memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya;

c. memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja

lembur dilakukan selama 3 (tiga) jam atau lebih.

(2) Pemberian makan dan minum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c tidak boleh

diganti dengan uang.

Pasal 8

(1) Perhitungan upah lembur didasarkan pada upah bulanan.

(2) Cara menghitung upah sejam adalah 1/173 kali upah sebulan.

Pasal 9

(1) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayar secara harian, maka penghitungan besarnya

upah sebulan adalah upah sehari dikalikan 25 (dua puluh lima) bagi pekerja/buruh yang

bekerja 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau dikalikan 21 (dua puluh satu)

bagi pekerja/buruh yang bekerja 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

(2) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayar berdasarkan satuan hasil, maka upah sebulan

adalah upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.

(3) Dalam hal pekerja/buruh bekerja kurang dari 12 (dua belas) bulan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2), maka upah sebulan dihitung berdasarkan upah rata-rata

selama bekerja dengan ketentuan tidak boleh lebih rendah dari upah dari upah

minimum setempat.

Pasal 10

(1) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka dasar perhitungan

upah lembur adalah 100 % (seratus perseratus) dari upah.

(2) Dalam hal upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap,

apabila upah pokok tambah tunjangan tetap lebih kecil dari 75 % (tujuh puluh lima

perseratus) keseluruhan upah, maka dasar perhitungan upah lembur 75 % (tujuh puluh

lima perseratus) dari keseluruhan upah.

Pasal 11

Cara perhitungan upah kerja lembur sebagai berikut :

1. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja :

a.1. untuk jam kerja lembur pertama harus dibayar upah sebesar 1,5 (satu setengah)

kali upah sejam;

a.2. untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar 2(dua) kali

upah sejam.

2. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi

untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh) jam seminggu maka :

b.1. perhitungan upah kerja lembur untuk 7 (tujuh) jam pertama dibayar 2 (dua) kali

upah sejam, dan jam kedelapan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur

kesembilan dan kesepuluh dibayar 4 (empat) kali upah sejam.

b.2. apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek perhitungan upah lembur

5 (lima) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam keenam 3(tiga) kali

upah sejam dan jam lembur ketujuh dan kedelapan 4 (empat) kali upah sejam.

3. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi

untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu, maka

perhitungan upah kerja lembur untuk 8 (delapan) jam pertama dibayar 2 (dua) kali

upah sejam, jam kesembilan dibayar 3(tiga) kali upah sejam dan jam kesepuluh dan

kesebelas 4 (empat) kali upah sejam.

Pasal 12

Bagi perusahaan yang telah melaksanakan dasar perhitungan upah lembur yang nilainya lebih

baik dari Keputusan Menteri ini, maka perhitungan upah lembur tersebut tetap berlaku.

Pasal 13

(1) Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur, maka yang

berwenang menetapkan besarnya upah lembur adalah pengawas ketenagakerjaan

Kabupaten/Kota.

(2) Apabila salah satu pihak tidak dapat menerima penetapan pengawas ketenagakerjaan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka dapat meminta penetapan ulang kepada

pengawas ketenagakerjaan di Provinsi.

(3) Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur pada

perusahaan yang meliputi lebih dari 1 (satu) Kabupaten/Kota dalam 1(satu) Provinsi

yang sama, maka yang berwenang menetapkan besarnya upah lembur adalah pengawas

ketenagakerjaan Provinsi.

(4) Apabila salah satu pihak tidak dapat menerima penetapan pengawas ketenagakerjaan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dapat meminta penetapan ulang

kepada pengawas ketenagakerjaan di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Pasal 14

Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur pada perusahaan

yang meliputi lebih dari 1 (satu) Provinsi, maka yang berwenang menetapkan besarnya

upah lembur adalah Pengawas Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja dan

Transmigrasi.

Pasal 15

Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor:KEP-

72/MEN/1984 tentang Dasar Perhitungan Upah Lembur, Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor

KEP-608/MEN/1989 tentang Pemberian Izin Penyimpangan Waktu Kerja dan Waktu Istirahat

Bagi Perusahaan-perusahaan Yang Mempekerjakan Pekerja 9 (sembilan) Jam Sehari dan 54

(lima puluh empat) Jam Seminggu dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia

Nomor: PER-06/MEN/1993 tentang waktu kerja 5 (lima) Hari Seminggu dan 8 (delapan) Jam

Sehari, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 16

Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 25 Juni 2004

MENTERI

TENAGAKERJA DAN TRANSMIGRASI

REPUBLIK INDONESIA

Pengurusan Izin Tenaga Kerja Asing

Pengurusan IMTA

- Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI nomor KEP-20.MEN.III.2004 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Mempekerjakan Tenaga kerja Asing
- Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.228/MEN/2003 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing
- Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI nomor PER.02.MEN.III.2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing

Selasa, 13 September 2011

UU Pasar Modal No.25 Tahun 2007-English Version

http://www.bapepam.go.id/old/old/E_legal/law/chapter_1.htm

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: M.01-HT.01.10 TAHUN 2007

Dokumen Pendukung bagi Pengesahan Perseroan

a.Salinan akta pendirian Perusahaan dan salinan akta perubahan pendirian Perseroan, jika ada;
b.salinan akta peleburan dalam hal pendirian perseroan dilakukan dalam rangka peleburan;
c.bukti pembayaran biaya untuk:
1)persetujuan pemakaian nama;
2)pengesahan badan hukum Perseroan; dan
3)pengumuman dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.

d.bukti setor modal Perseroan berupa:

1)slip setoran atau keterangan bank atas nama Perseroan atau rekening bersama atas nama para pendiri atau pernyataan telah menyetor modal Perseroan yang ditandatangani oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota Dewan Komisaris Perseroan, jika setoran modal dalam bentuk uang;
2)keterangan penilaian dari ahli yang tidak terafiliasi atau bukti pembelian barang jika setoran modal dalam bentuk lain selain uang yang disertai pengumuman dalam surat kabar jika setoran dalam bentuk benda tidak bergerak;
3)Peraturan Pemerintah dan/atau surat keputusan Menteri Keuangan bagi Perseroan Persero; atau
4)neraca dari Perseroan atau neraca dari badan usaha bukan badan hukum yang dimasukkan sebagai setoran modal.

e.surat keterangan alamat lengkap Perseroan dari Pengelola Gedung atau surat pernyataan tentang alamat lengkap Perseroan yang ditandatangani oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota Dewan Komisaris Perseroan; dan

Akta perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.nama dan/atau tempat kedudukan;
b.maksud dan tujuan serta kegiatan usaha;
c.jangka waktu;
d.besarnya modal dasar;
e.pengurangan modal ditempatkan dan disetor; dan/atau
f.status Perseroan yang tertutup menjadi Perseroan Terbuka atau sebaliknya.

Dokumen pendukung bagi persetujuan akta perubahan anggaran dasar meliputi:

a.salinan akta perubahan anggaran dasar perseroan;
b.Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang dilegalisir oleh Notaris;
c.bukti pembayaran Permohonan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar;
d.bukti pembayaran pengumuman dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia;
e.bukti setor modal Perseroan dari bank atas nama Perseroan atau neraca Perseroan jika perubahan anggaran dasar mengenai peningkatan modal Perseroan;
f.pengumuman dalam surat kabar jika perubahan anggaran dasar mengenai pengurangan modal;
g.surat keterangan alamat lengkap Perseroan dari Pengelola Gedung atau surat pernyataan tentang alamat lengkap Perseroan dari direksi Perseroan jika alamat lengkap Perseroan berubah; dan
h.Dokumen pendukung lain terkait instansi dan lain-lainnya.

Akta perubahan anggaran dasar perseroan yang harus diberitahukan kepada Menteri adalah perubahan anggaran dasar di luar ketentuan Pasal 8 ayat (2).

Perubahan data Perseroan yang harus diberitahukan kepada Menteri meliputi:
a.perubahan nama pemegang saham dan jumlah saham yang dimilikinya;
b.perubahan nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris;
c.perubahan alamat lengkap Perseroan;
d.pembubaran Perseroan;
e.berakhirnya status badan hukum karena hukum akibat penggabungan, peleburan, pemisahan murni; dan
f.telah berakhirnya proses likuidasi.

Pemberitahuan akta anggaran dasar disampaikan oleh Notaris selaku kuasa Direksi kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk, penyampaian pemberitahuan harus disampaikan dalam jangka waktu 14 hari sejak izin tersebut disampaikan.

selengkapnya dapat di unduh di


http://ngada.org/permen.m.01-ht.01-10-2007.htm



Kamis, 08 September 2011

Part 2

Pemegang Gadai dapat dinilai beritikad baik apabila pemegang gadai memiliki asumsi baik bahwa pemberi gadai adalah pemilik sebenarnya dan hak pemberi gadai tidak perlu untuk diragukan lagi

Kronologis :

  1. Seorang pemegang gadai yang menerima barang gadai sedangkan pemberi gadai statusnya hanyalah seorang penyewa dilindungi terhadap pemilik
  2. Pemegang gadai menerima barang gadai menerima barang gadai dari seorang pembeli yang membeli barang tersebut dengan syarat batal
  3. Jika jual beli barang gadai dibatalkan maka pemegang gadai dilindungi terhadap pemilik asal

Perlindungan pemilik sebenarnya dapat terjadi apabila barang gadai tersebut hilang/dicuri oleh pemberi gadai berdasarkan Pasal 1977 KUHPer

Jenis Barang yang Menjadi Objek Gadai :
Berdasarkan Pasal 1150 KUHPer, objek gadai atau barang-barang yang dapat digadaikan adalah barang-barang bergerak dan bukan barang bergerak. Barang-barang bergerak tersebut dapat dijadikan obyek gadai, baik bertubuh maupun tidak bertubuh

Disamping barang-barang bergerak, yang dapat dijadikan obyek gadai adalah piutang atas bawa.
sepertu penagihan mengenai sejumlah uang atau suatu barang yang bergerak, surat-surat sero atau saham dari suatu perseroan perdagangan, surat-surat obligasi negara.

Pendeinisian barang bergerak dapat dilihat dari sifatnya atau karena ditentukan oleh undang-undang, adalah barang yang tidak tergabung atau tidak menyatu terhadap tanah atau mengikuti suatu bangunan

Barang-barang bergerak, disamping dijaminkan melalui gadai, dapat dijaminkan secara fidusia sebagaimana dicantumkan dalam Undang-undang No.42 Tahun 1999 tentang Fidusia. Keduanya merupakan hak kebendaan yang dapat memberikan jaminan dengan obyek jaminan yang sama,

Perbedaannya seperti yang telah disebutkan di atas, dalam gadai barang-barang bergerak berada di bawah kekuasaan atau pemegang gadai, sedangkan dalam fidusia barang-barang berada di bawah kekuasaan debitur atau pemegang fidusia.